Jejak Megah Sejarah Kerajaan Aceh dari Darussalam hingga Kolonial
Banda Aceh, relasinasional.com — Di ujung barat Indonesia, Aceh menyimpan kisah panjang kejayaan yang berakar dari kerajaan besar: Aceh Darussalam. Dari pelabuhan megah yang ramai pedagang dunia hingga benteng pertahanan yang memukau, sejarah Kerajaan Aceh menjadi saksi lahirnya peradaban gemilang di Nusantara.
Pada abad ke-13, wilayah ini sudah dikenal dunia lewat Kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Islam pertama di Nusantara. Namun, puncak kemegahan baru datang setelah berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam di bawah Sultan Ali Mughayat Syah sekitar tahun 1530. Ia berhasil menyatukan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir Sumatra dan menaklukkan pengaruh Portugis.
Masa Keemasan di Tangan Sultan Iskandar Muda
Puncak kejayaan Aceh terjadi pada masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Di tangannya, Aceh berubah menjadi kekuatan besar Asia Tenggara. Ia membuka pelabuhan internasional, menjalin hubungan dagang dengan Arab, India, Inggris, dan Belanda, serta memakmurkan rakyat dengan hasil bumi dan rempah.
“Pada masa itu, Aceh menjadi pusat perdagangan dunia yang makmur dan berperadaban tinggi,” tulis Marduati dalam jurnal ADABIYA terbitan UIN Ar-Raniry.
Iskandar Muda juga dikenal sebagai pemimpin visioner. Ia membangun istana megah, taman kerajaan (Bustanussalatin), masjid besar, dan sistem pendidikan berbasis masjid. Semua menjadi simbol kemajuan intelektual dan arsitektur Islam di Nusantara.
Perlawanan Panjang Melawan Belanda
Namun kejayaan itu tak berlangsung lama. Setelah wafatnya Iskandar Muda, kekuasaan Aceh mulai melemah. Saat kolonialisme Eropa masuk, Aceh menjadi sasaran utama.
Belanda memulai agresinya pada 1873, dipimpin oleh Jenderal J.H.R. Kohler. Tapi upaya pertama itu gagal total—Kohler tewas dalam pertempuran di Banda Aceh. Kekalahan itu mengguncang Belanda dan membuat mereka mengirim ekspedisi besar kedua.
Meski akhirnya Belanda berhasil menguasai istana pada 1874, rakyat Aceh tak pernah menyerah. Perlawanan rakyat terus berkobar hingga 1913, menjadikan Perang Aceh sebagai salah satu perang kolonial terpanjang dalam sejarah dunia.
Peradaban yang Tak Padam
Meski perang menghancurkan banyak peninggalan, jejak peradaban Aceh masih kuat. Banyak peninggalan sejarah yang membuktikan kemajuan masa silam, mulai dari kompleks makam raja-raja di Kandang XII, Masjid Indrapurwa yang kini tenggelam di laut, hingga benteng-benteng pertahanan di pesisir.
Catatan Belanda pada 1944 bahkan menggambarkan Banda Aceh sebagai kota dengan 37 bangunan penting, termasuk kantor pos, stasiun kereta api, barak militer, dan rumah gubernur. Rel kereta pertama di Aceh dibangun tahun 1874, menghubungkan Ulee Lheu hingga Kutaraja (kini Banda Aceh).
Warisan ini menunjukkan, di balik konflik panjang, Aceh telah lebih dulu membangun sistem kota modern dan berperadaban tinggi.
Warisan Budaya dan Spirit Islam
Kehidupan masyarakat Aceh juga sangat dipengaruhi nilai Islam. Hukum syariah, lembaga pendidikan berbasis masjid, dan sistem sosial yang kuat membentuk identitas Aceh hingga kini.
Para ulama dan sultan masa itu menanamkan semangat juang melawan penjajahan dengan ajaran jihad fi sabilillah, yang kemudian diabadikan dalam naskah kuno Hikayat Perang Sabil.
Karya sastra ini menjadi penyemangat rakyat Aceh untuk berjuang melawan penjajah dengan keyakinan spiritual yang mendalam — bahwa gugur di medan perang berarti mati syahid.
Menjaga Jejak Peradaban
Kini, banyak ahli sejarah dan arkeolog menyerukan pentingnya pelestarian warisan budaya Aceh. Dari reruntuhan istana hingga peta peninggalan kolonial Belanda, semua adalah bukti nyata kebesaran sejarah bangsa.
“Jejak sejarah Aceh bukan sekadar peninggalan masa lalu, tetapi cermin kejayaan dan identitas bangsa,” tulis Marduati dalam penelitiannya.
Menelusuri sejarah Kerajaan Aceh bukan hanya mengenang masa silam, tapi juga menghidupkan kembali semangat perlawanan dan kemandirian yang telah mengakar selama berabad-abad di Tanah Rencong.

