Apotek yang Bangkit dari Balik Bayangan Tahta
![]() |
| Ilustrasi |
Di sebuah kota kecil yang dikepung terik dan janji, berdirilah sebuah apotek yang baru saja bangkit dari kuburnya sendiri. Hanya sepuluh hari ia dikafani segel, lalu terlahir kembali berkat selembar kertas bernama CAPA—lembaran tipis yang konon dapat mencuci noda sepekat tinta dosa. Lihatlah, betapa murah harga sebuah penebusan: bukan darah, bukan air mata, hanya administrasi.
Konon, di gudang apotek itu pernah terbaring obat-obatan keras, bertumpuk seperti batu nisan di pemakaman massal. Ditanya dari mana asal muasalnya, jawabnya hanyalah bisu. Ditanya ke mana perginya, jawabnya adalah kabut. Namun kabut itu rupanya cukup tebal untuk menutupi mata pengawas, sehingga segel yang dulu seperti palu malaikat kini sekadar cap basah yang mudah dilap air hujan.
Betapa anggun wajah hukum di negeri ini: ia bisa mengaum seperti singa lapar, namun seketika jinak ketika berhadapan dengan bayangan tahta. Apotek itu milik siapa? Ah, cukup kita tahu bahwa ada nama yang harum di kursi tinggi, dan ada ikatan suami-istri yang lebih kokoh daripada jeruji besi. Segala pertanyaan tentang siapa yang membeli obat keras tanpa resep seakan terlarung ke sungai waktu, hilang tanpa jejak, seperti janji yang disapu angin kampanye.
Mereka menyebut CAPA sebagai tindakan korektif-preventif. Betapa manis istilah itu—seperti doa yang diucapkan di atas mimbar. Tetapi tidakkah CAPA, dalam kenyataannya, hanyalah gincu yang dipoles di bibir hukum yang pecah-pecah? Tindakan korektif yang hanya menambal robekan, tindakan preventif yang tak lebih dari pagar bambu di ladang singa.
Rakyat, sekali lagi, hanya menjadi penonton. Mereka mendengar kabar tentang obat keras, tentang segel, tentang izin yang datang kembali lebih cepat dari musim panen. Tetapi rakyat sudah lama belajar: jangan terlalu heran, karena di negeri ini hukum lebih lentur daripada rotan di tangan anak kecil.
Dan begitulah, apotek itu kini kembali berdiri megah. Di balik pintunya, barangkali masih ada aroma pil pahit yang menguar bersama bau legalitas. Kita boleh saja berharap CAPA menjadi tembok kokoh yang menahan kejahatan berulang. Tapi bukankah kita tahu, tembok yang dibangun di atas pasir akan selalu retak saat gelombang datang?
Maka, jangan terkejut bila suatu hari nanti kita menemukan lagi obat-obatan keras yang berbaris rapi seperti pasukan gelap, menunggu diperjualbelikan. Jangan kaget bila segel kembali ditempel, lalu kembali dicabut. Karena di negeri ini, keadilan sering hanya berpura-pura tidur—tapi sesungguhnya ia sudah lama mati, terkubur di antara rak-rak apotek yang penuh dengan pil-pil kosong.
(mis)

