BREAKING NEWS
iklan

Republik Hantu di Balik Seragam

Karikatur satir dua pejabat, satu membawa daftar honorer fiktif dengan hantu-hantu keluar dari karung anggaran, menggambarkan dugaan penyalahgunaan dana.
Ilustrasi

 Di sebuah kota kecil, berdiri sebuah kantor yang seharusnya menjadi benteng ketertiban. Ironisnya, benteng itu justru bocor, menyisakan cerita gelap tentang hantu-hantu bergaji tetap. Bukan hantu gentayangan di kuburan tua, melainkan hantu birokrasi: delapan nama fiktif yang hidup lebih makmur daripada pegawai bernyawa. Dua di antaranya bahkan sudah lama bersemayam di tanah, tapi di buku kas negara, mereka masih setia mengantre di loket gaji.


Begitulah, republik kecil bernama instansi penegak aturan daerah itu berubah menjadi kerajaan bayangan. Para pejabatnya piawai menciptakan “prajurit maya” yang tak pernah berdinas, tapi rajin mencicipi anggaran. Gaji, uang makan, bahkan THR—semua dipotong, dibagi, diakali dengan dalih yang terdengar resmi: pajak, absensi, prosedur. Sebuah kamus alasan yang panjang, tapi selalu muara pada satu kata: raib.


Yang lebih getir, para pegawai honorer yang masih bernapas harus menanggung siksaan. Gaji tiga bulan hilang entah ke mana, bahkan ketika absensi menunjukkan mereka setia masuk kerja. Beberapa yang sakit keras, dengan surat dokter di tangan, tetap diperlakukan seolah maling waktu. Lima bulan mereka tak diberi nafkah, sementara keringat dan tenaga diperas habis. Di ruang gelap itu, keadilan dipotong lebih tajam daripada sabit panen, tanpa meninggalkan butir padi untuk petani kecil bernama rakyat.


Tentu, sang bendahara dan pejabat yang disebut-sebut tak tinggal diam. Mereka mengutip aturan, menyodorkan SK, dan mengulang kalimat sakti: “Semuanya sesuai prosedur.” Kata-kata yang lebih mirip mantra untuk meninabobokan publik, ketimbang menjelaskan ke mana uang rakyat melayang. Seperti biasa, bantahan selalu rapi, sementara kenyataan di lapangan berserakan seperti sampah di tepi jalan.


Kini, bola panas itu bergulir di meja penyidik. Publik menunggu: apakah ini hanya sandiwara musiman—sebuah penyelidikan yang berakhir dengan senyap—atau benar-benar ada kepala yang bergulir? Pengalaman panjang negeri ini mengajarkan: kasus korupsi sering dimulai dengan gegap gempita, lalu redup di lorong kompromi. Para honorer yang lapar mungkin hanya akan mendapat suguhan janji, bukan gaji.


Republik hantu itu masih berdiri, dengan seragam tegak dan wajah penuh wibawa. Mereka mengutip pasal, tapi menelan hak pegawai. Mereka bicara prosedur, tapi memelihara kebohongan. Jika aparat yang seharusnya menertibkan justru menjarah, untuk apa lagi pluit dan pentungan? Bukankah lebih jujur jika kantor itu dipasangi papan nama baru: Markas Penjaga Fiksi dan Ilusi Anggaran?


(mis)

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image