Tan Malaka Bapak Republik yang Terlupakan dalam Sejarah Indonesia
![]() |
| Tan Malaka, tokoh revolusioner Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Republik namun kerap terlupakan dalam sejarah bangsa. [Foto: Istimewa] |
Jakarta — Tan Malaka adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam perjalanan bangsa, namun namanya kerap tenggelam di balik catatan sejarah resmi. Sosok yang lahir dengan nama Ibrahim pada 2 Juni 1897 di Pandam Gadang, Sumatera Barat ini, bukan hanya seorang pejuang kemerdekaan, melainkan juga seorang filsuf politik, penulis, dan pemikir revolusioner yang gagasannya melampaui zamannya.
Sejak kecil kecerdasannya sudah menonjol. Setelah menempuh pendidikan di Bukit Tinggi, ia melanjutkan studi ke Belanda pada 1913. Di negeri itu ia berkenalan dengan gagasan sosialisme, Marxisme, hingga komunisme, yang kemudian membentuk dasar pemikirannya. Sejak saat itu, jalan hidup Tan Malaka terhubung erat dengan ide-ide tentang kemerdekaan, keadilan, dan perubahan sosial.
Pemikiran-pemikiran Tan Malaka sering dianggap radikal, tetapi justru di situlah letak kekuatan intelektualnya. Karya monumentalnya, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), ditulis pada 1943. Buku ini menjadi warisan pemikiran yang memadukan cara berpikir rasional dengan kebutuhan bangsa untuk lepas dari belenggu mistisisme dan kolonialisme. Ia menekankan bahwa kemerdekaan sejati hanya dapat dicapai dengan nalar dan keberanian menolak kompromi.
Bagi Tan Malaka, kemerdekaan harus diperoleh sepenuhnya tanpa tawar-menawar. Semboyan “100% Merdeka” menjadi cermin sikapnya yang menolak segala bentuk perundingan yang dianggap menguntungkan kolonial. Ia pun menekankan pentingnya pendidikan transformatif. Dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak buruh dan petani, ia menanamkan kesadaran politik sekaligus membangun generasi yang mampu berpikir kritis.
Peran Tan Malaka dalam pergerakan tidak terbatas di tanah air. Ia berkelana ke berbagai negara, dari Filipina hingga Tiongkok, bergerak dalam pengasingan, menggunakan nama samaran, dan terlibat dalam gerakan bawah tanah. Ia juga dikenal sebagai organisator ulung yang mampu menyatukan kelompok dengan latar belakang berbeda.
Setelah proklamasi 1945, ia kembali ke tanah air dengan semangat yang tak surut. Ia mendirikan Persatuan Perjuangan pada 1946, sebuah aliansi politik dan militer yang menuntut kemerdekaan penuh. Ia juga mendirikan Partai Murba pada 1948, yang mengusung antifasisme, anti-imperialisme, dan antikapitalisme. Gagasan dan gerakannya sering membuatnya berhadapan dengan pemerintah maupun sesama pejuang, tetapi ia tetap teguh pada keyakinannya.
Akhir hidup Tan Malaka penuh kontroversi. Ia dieksekusi pada 21 Februari 1949 di Kediri, Jawa Timur, oleh pasukan militer Indonesia sendiri. Berita kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun, hingga sosok yang dijuluki “Bapak Republik Indonesia” ini seakan hilang dari panggung sejarah.
Pengakuan baru datang belakangan. Pada 28 Maret 1963, Presiden Soekarno menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Namun di era Orde Baru, namanya kembali disisihkan dari buku sejarah resmi. Baru pada era reformasi, pemikirannya kembali diteliti dan diakui sebagai bagian penting dari fondasi Republik Indonesia.
Selain Madilog, ia juga menulis karya penting lain seperti Naar de Republiek Indonesia (1924), Massa Actie, Dari Penjara ke Penjara, dan Gerpolek. Semua karya itu menjadi bukti betapa luasnya pengaruh pemikirannya, bukan hanya di bidang politik, tetapi juga pendidikan, strategi revolusi, dan pembangunan bangsa.
Tan Malaka adalah sosok visioner yang mengorbankan hidupnya demi sebuah gagasan besar: Indonesia yang merdeka sepenuhnya. Meskipun sejarah sempat berusaha melupakannya, jejaknya tetap membekas, menunggu untuk terus digali dan dipahami generasi berikutnya.

