Aksiologi Islam: Ketika Ilmu Menjadi Jalan Bernilai Menuju Kebaikan
![]() |
| Salsabila Al Adzkia, Mahasiswi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah. |
Penulis Opini: Salsabila Al Adzkia, Mahasiswi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah.
Di tengah dunia yang semakin dikuasai teknologi dan informasi, banyak orang yang haus akan ilmu, tetapi lupa untuk apa sebenarnya ilmu itu digunakan.
Dalam pandangan Islam, belajar bukan hanya sekedar menambah pengetahuan, tapi juga soal bagaimana ilmu tersebut bisa menumbuhkan nilai dan tanggung jawab moral. Ilmu yang sejati bukan diukur dari seberapa banyak kita peroleh, tapi dari sejauh mana ilmu itu bisa membawa kita pada kebaikan.
Nah, di sinilah pentingnya kita memahami aksiologi Islam, yaitu pandangan tentang nilai, manfaat serta tujuan ilmu yang kita pelajari supaya benar-benar berpihak pada kebaikan, bukan cuma sekedar untuk terlihat kepintaran.
Secara sederhana, aksiologi bisa dipahami sebagai ilmu tentang nilai, apa yang dianggap baik, benar, dan bermanfaat.
Dalam Islam, ilmu dan nilai tidak dapat dipisahkan. Karena setiap pengetahuan yang kita pelajari seharusnya membuat kita makin dekat kepada Allah dan bermanfaat bagi orang lain.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Imam Al-Ghazali, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.” Kutipan itu mengingatkan kita bahwa ilmu bukan sekadar teori atau hafalan, melainkan amanah yang harus digunakan dengan penuh tanggung jawab moral.
Sejak dulu, Islam tidak pernah menolak perkembangan ilmu. Justru, peradaban Islam pernah berada di puncak kejayaan karena para ilmuwan Muslim mampu memadukan akal dan iman.
Banyak tokoh besar Islam seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Al-Kindi yang menjadi bukti bahwa ilmu dapat berkembang pesat tanpa harus meninggalkan nilai-nilai ketuhanan.
Mereka tidak hanya berpikir ilmiah, tapi juga menjaga spiritualitas dalam setiap penelitiannya.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas (1980), tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah “menanamkan adab, yaitu pengenalan dan pengakuan terhadap tempat yang benar bagi segala sesuatu”.
Jadi, penguasaan ilmu tanpa diiringi pemahaman nilai akan melahirkan generasi yang pintar tapi kehilangan arah. Maka, pengembangan ilmu dalam Islam harus selalu seimbang antara akal dan hati, antara logika dan moral.
Dalam Islam, seorang pencari ilmu punya tanggung jawab besar, bukan cuma kepada dirinya sendiri, tapi juga kepada masyarakat. Hal tersebut selaras dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim). Namun jalan itu bukan sekadar tentang hafalan atau gelar, melainkan tentang adab, keikhlasan, dan kerendahan hati.
Seorang ilmuwan atau mahasiswa seharusnya rendah hati, terbuka terhadap kebenaran, dan nggak merasa paling tahu. Etika ini penting biar ilmu yang kita miliki nggak berubah jadi kesombongan. Karena, semakin tinggi pohon ilmu, maka semakin merunduk. Ketika niat belajar kita bersih, ilmu itu akan jadi cahaya, bukan beban.
Aksiologi Islam mengajarkan bahwa ilmu tanpa nilai akan kehilangan makna. Setiap pengetahuan seharusnya membawa kita lebih dekat kepada Allah dan lebih peka terhadap sesama. Pada akhirnya, ilmu bukan tentang siapa yang paling banyak tahu, tapi siapa yang paling banyak memberi manfaat.
Jadi, mari kita belajar bukan cuma biar pintar, tapi juga biar bernilai buat diri sendiri, buat masyarakat, dan tentu saja untuk Allah.

