Pesta Beras di Istana Panggung
![]() |
| Ilustrasi |
Rakyat di tanah ini sering diajari bersyukur: sepiring nasi, segenggam garam, dan sedikit lauk dari pasar yang makin jauh dari jangkauan. Tetapi di panggung tinggi kekuasaan, syukur itu berubah rupa: ia diwujudkan dalam angka, disulap menjadi tunjangan beras yang nilainya bukan lagi sekedar butir padi, melainkan karung-karung uang yang bisa memberi makan sebuah kampung kecil.
Mereka menyebutnya kenaikan kecil, sekadar tambahan dari sepuluh menjadi dua belas juta. Kecil — kata itu melayang-layang di udara, seperti asap dupa yang menyesakkan dada. Betapa rapuh arti “kecil” di lidah penguasa; ia bisa berarti besar bagi perut rakyat, tetapi sepele bagi kursi empuk yang sudah lama kehilangan rasa gatal.
Dan bukan hanya beras. Ada bensin, tujuh juta sebulan; ada rumah, lima puluh juta sebulan. Rumah yang tak pernah ditempati rakyat, tetapi ditinggali gengsi. Sementara di gang-gang sempit kota, rakyat menawar harga kontrakan yang terus merangkak, seperti tikus lapar mencari sisa remah di dapur yang dingin.
Mereka bilang gaji pokok hanya enam setengah juta. Angka itu dipamerkan dengan nada getir, seolah para wakil adalah buruh miskin yang saban hari keringatnya tak cukup menutup ongkos hidup. Padahal, di balik tirai gaji, tunjangan menari-nari seperti penari ronggeng yang tak pernah lelah. Gaji hanyalah wayang di panggung sandiwara; dalangnya adalah tunjangan yang berlipat-lipat.
Lalu rakyat, apa kabarnya? Mereka yang menunduk di sawah, yang bergelut dengan harga beras yang melonjak, yang antre minyak murah di kios pemerintah, yang menutup lubang rumah dengan kardus bekas—mereka kini hanya menjadi penonton. Menonton pesta beras, pesta bensin, pesta rumah, yang digelar di atas meja kekuasaan.
Ada yang berkata: inilah keadilan. Sebab para wakil bekerja keras demi rakyat. Tetapi kerja macam apa yang menelan nasi emas sementara rakyat mengunyah nasi aking? Kerja macam apa yang menyalakan lampu istana sementara lorong kampung tetap gelap?
Negeri ini seperti sebuah doa yang dipelintir: diucapkan dengan lirih, tapi berubah jadi kutukan di langit. Dan di bawah cahaya lilin yang redup, rakyat hanya bisa berbisik: semoga karung beras itu kelak menjadi beban, bukan berkah. Sebab sejarah selalu menyimpan catatan bagi mereka yang menari terlalu lama di atas perut kosong orang banyak.
(mis)

