Tangan Judi di Balik Meja Kekuasaan
![]() |
| Ilustrasi |
Di sebuah kabupaten yang penuh debu janji, seorang lelaki tetap duduk manis di kursi empuk kekuasaan. Tangannya pernah akrab dengan kartu remi dan dadu, tapi kini ia menggenggam stempel jabatan yang seharusnya menata nasib banyak orang. Dahulu ia menjaga lalu lintas jalan, kini ia mengatur lalu lintas derita manusia. Ironisnya, roda takdir yang ia putar lebih mirip roda judi ketimbang roda pemerintahan.
Lihatlah jalan-jalan kota: bukan hanya dipenuhi deru kendaraan, melainkan juga wajah-wajah lusuh pengemis dan gelandangan. Mereka berbaris di simpang empat seperti pasukan bayangan, menunggu lampu merah menyala sebagai tanda untuk menyerbu. Ada yang menengadahkan tangan dengan lirih, ada pula yang melempar batu ke kaca mobil jika tak diberi selembar uang. Inilah simfoni getir yang dimainkan di bawah matahari—sementara sang pejabat yang mestinya mengurus marwah kemanusiaan lebih sibuk menghitung taruhan ketimbang menghitung derita.
Rakyat melapor, berkali-kali. Suara keluh kesah bergaung di kedai kopi, menyusup ke rumah-rumah, bahkan menggema di ruang kantor yang pengap. Namun, telinga penguasa itu seakan ditutup dengan kapas kemenangan palsu. Mungkin baginya, kabar tentang pengemis hanyalah riak kecil; yang penting, meja judi tetap ramai, dan kartu selalu dibagikan.
Bukankah aneh, seorang yang seharusnya menjadi penyangga nurani malah menari di atas reruntuhan moralnya sendiri? Bukankah tragis, tangan yang mestinya menghapus air mata justru gemetar menunggu angka dadu? Negeri ini seakan tengah menonton sandiwara murahan: lakon “penjaga kemanusiaan” diperankan oleh pemain yang tak pernah belajar arti kata manusia.
Dan kita—rakyat yang kerap diperlakukan seperti debu—hanya bisa bertanya dalam hening: berapa lama lagi kursi kekuasaan akan diperlakukan seperti meja judi, tempat nasib manusia ditukar dengan kartu, dan kepentingan umum kalah oleh euforia kemenangan sesaat?
(mis)

