Kisah Kelam Rio Martil, Pembunuh Berantai yang Diakhiri Regu Tembak
![]() |
| Potret Rio Martil saat diamankan polisi sebelum menjalani proses hukum atas kasus pembunuhan berantai. |
Sleman, relasinasional.com — Nama Antonius Rio Alex Bulo, lebih dikenal sebagai Rio Martil, pernah mengguncang Indonesia. Ia bukan sekadar kriminal biasa, melainkan pembunuh berantai yang menargetkan pengusaha dan pemilik rental mobil dengan cara sadis — memukul kepala korban dengan martil hingga tewas.
Rio lahir di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 2 Mei 1975. Masa kecilnya penuh kenakalan dan konflik. Saat berusia delapan tahun, ia dikirim ke Jakarta untuk tinggal bersama kakaknya. Namun, alih-alih berubah, Rio justru terjerumus dalam dunia kelam ibu kota.
Di Pasar Senen, ia bergaul dengan para preman, sering bolos sekolah, dan mulai mengenal alkohol serta ganja. Tak lama kemudian, Rio ikut dalam jaringan pemalsu surat kendaraan bermotor, yang menjadi pintu masuk menuju kejahatan yang lebih besar.
Setelah menikah dengan Tuti Alawiyah, Rio berpura-pura hidup normal. Ia mengaku sebagai pedagang pakaian, padahal diam-diam terlibat dalam pencurian mobil. Dari sinilah, insting kriminalnya berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan.
Antara tahun 1997 hingga 2001, Rio tercatat telah membunuh sedikitnya empat orang di Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Purwokerto. Semua korban ditemukan dengan luka parah di kepala akibat hantaman martil — senjata khas yang membuatnya dijuluki Rio Martil.
Kasus yang paling menghebohkan terjadi pada 12 Januari 2001. Korban, Jeje Suraji, seorang pengacara sekaligus pemilik rental mobil di Purwokerto, ditemukan tewas di sebuah kamar hotel. Kepalanya remuk akibat hantaman benda tumpul. Kecurigaan petugas hotel yang melapor kepada polisi menjadi titik balik. Dari kasus Jeje, jejak kejahatan Rio terungkap satu per satu.
Pada 14 Mei 2001, Pengadilan Negeri Purwokerto menjatuhkan vonis mati terhadap Rio Martil. Namun, kekejamannya tak berhenti di balik jeruji. Saat dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Rio kembali melakukan pembunuhan terhadap sesama napi bernama Iwan Zulkarnaen, seorang terpidana korupsi. Kali ini tanpa martil — membuktikan bahwa sisi gelapnya tak pernah padam.
Menjelang hari eksekusi, Rio sempat menunjukkan penyesalan. Ia meminta bertemu istri dan ketiga anaknya, Jerry, Jessica, dan Jenny. Dalam pertemuan terakhir itu, ia menyerahkan Al-Qur’an kepada keluarga dan pengacaranya, memohon ampun kepada keluarga korban, serta meminta agar pakaiannya disumbangkan kepada narapidana lain yang membutuhkan.
Eksekusi dilakukan pada 8 Agustus 2008 di Nusakambangan oleh regu tembak. Suara peluru yang menembus tubuhnya menutup babak panjang kejahatan berdarah yang ia ukir selama bertahun-tahun.
Kini, dua dekade kemudian, nama Rio Martil masih tercatat sebagai salah satu pembunuh berantai paling sadis dalam sejarah kriminal Indonesia. Kisahnya menjadi peringatan keras tentang bagaimana ambisi, kebohongan, dan dendam bisa berubah menjadi tragedi kemanusiaan.

