Iklan

Masa Depan Ulumul Hadist dalam Perspektif Sejarah

relasinasional
26 Mei 2022 | 08:29 WIB Last Updated 2022-05-26T02:05:24Z

Masa Depan Ulumul Hadist dalam Perspektif SejarahOleh : Miftahuzzaman, Mahasiswa Semester 2 Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
 

Relasi Nasional | Artikel - Di masa lalu, bermula sejak masa Nabi saw dan sahabat, memang terbuka peluang untuk membukukan Hadis, tetapi untuk menghindarkan tercampur baurnya dengan Alqur’an, maka nanti pada masa tabi’in barulah Hadis-hadis dibukukan.

Puncaknya adalah pada masa kekhalifahan Abbasiyah, yakni ketika Umar bin Abd al Azis menjabat gubernur Mesir (65 – 85 H), ia menginstruksikan agar Hadis-hadis ditulis dan dikodifikasikan dalam suatu kitab.

Usaha pengkodifikasian Hadis pada masa ini, merupakan tahap awal yang dalam sejarah atau disebut sebagai periode pertama, tepatnya pada abad 1 H.15 memasuki abad II H, pengkodifikasian Hadis-hadis sudah mengalami perkembangan, karena ia terhimpun dalam beberapa kitab Hadis dengan metode juz dan atraf, 16 metode muwatta dan metode musannaf.17 Memasuki abad III H, Hadis-hadis terhimpun dalam kitab musnad, 18 kitab sunan, 19 dan kitab jami’. 20 Pada perkembangan selanjutknya, yakni pada abad IV H, himpunan Hadis dalam beberapa kitab dijabarkan penghimpunannya dalam metode mu’jam, 21 mustakhraj22, mustadrak, 23 dan majma’24 .

Dengan terhimpunnya Hadis-hadis ke dalam kitab-kitab dengan berbagai metode yang terpakai itu, menjadikan pula keorisinilan Hadis-hadis Nabi saw yang periwayatannya senantiasa terjaga dari generasi ke generasi dan apalagi karena ia didukung oleh lahir berkembangnya kaidah-kaidah ulum Hadis.

Ulum Hadis sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, muncul seiring dengan peliknya memahami Hadis-hadis. Oleh karena itu, pembahasan tentang latar belakang sejarah Ulum Hadits terkait dengan perkembangan Hadis itu sendiri, mulai dari masa Nabi saw, sampai masa pengkodifikasian Hadis-hadis itu sendiri.

Menurut data sejarah, factor utama munculnya Ulum Hadis, adalah disebabkan munculnya Hadis-hadis palsu, yang telah mencapai klimaksnya pada abad III H.

Atas kasus ini, maka ulama Hadis menyusun berbagai kaidah dalam ilmu Hadis yang secara ilmiah dapat digunakan untuk penelitian Hadis. 25 Adapun orang yang pertama menyusun kitab Ulum Hadis secara sistematis adalah Abu Muhammad al Ramahurmuzi (360 H), sesudah itu ulama-ulama yang ada di abad IV H, ikut meramaikan arena Ulum Hadis, seperti al Hakim Muhammad ibn Abdillah al-Naysaburiy, Abu Nu’im al Asbahani, al Khatib dan segenerasinya.26 Kitab-kitab Ulum Hadis yang ditulisnya dijadikan panduan oleh muhaddisin sesudahnya.


Memasuki abad V H dan VI H, ulama-ulama Hadis menitik beratkan usaha untuk memperbaiki susunan kitab dan memudahkan jalan pengambilannya, seperti mengumpulkan Hadis-hadis hukum dalam satu kitab dan Hadis-hadis targib dalam sebuah kitab. Bersamaan dengan itu, bermunculannya kitab-kitab syarah yang memudahkan para muhaddis untuk memahami hadis.


Pada abad selanjutnya (abad VII H) pusat kegiatan perkembangannya Ulum Hadis berada di Mesir dan India. Dalam masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang Hadis. Atas kebijakan mereka pulalah, sehingga kitab-kitab Ulum Hadis diterbitkan.

Demikianlah Ulum Hadis terus berkembang dan dipelajari banyak orang. Meskipun terjadi perubahan-perubahan dalam sistematikanya dan metode penulisannya, namun tidak terlepas dari ketentuan-ketentuan yang telah dirumuskan oleh ulama-ulama yang merintisnya.

Perubahan sistematika dan metode penulisannya berkaitan erat dengan proses perkembangan ilmu pengetahuan dan kebutuhan manusia kepadanya. Ulum Hadis yang substansinya terdiri atas Ilmu Hadis Dirayah dan Riwayah memiliki cabang yang menurut sebagian ulama telah mencapai 60-an jenis.

Bahkan setelah itu berkembang lagi sehingga menjadi 90-an jenis.Adapun cabang Ulum Hadis yang termasyhur dan diperpegangi para muhaddisin selama ini adalah berjumlah tujuh jenis, yakni: Ilmu Rijal Hadis, yang menerangkan para periwayat Hadis, baik dari sahabat, tabi’in dan tabaqah-tabaqah selanjutnya. Diantara kitab-kitab yang membahas masalah ini adalah al Isti’ab karya Ibnu Abdil Barr dan Usul al Ghabah karya Izzuddin Ibu Asir.

Ilmu Jarh wa al-Ta’dil, yang menerangkan tentang keaiban dan keadilan seorang periwayat Hadis. Kitab yang terkenal membahas masalah ini adalah kitab Tabaqat karya Muhammad Ibn Sa’ad al-Zuhry al-Basri. Ilm Gharib al- Hadis, yang menerangkan makna-makna atau kalimat yang sukar dipahami dalam matan Hadis.

Kitab yang membahas masalah ini adalah al Faiq fi Gharib al Hadis karya al Zamakhsyari dan al Nihayah fiy Garab al-Hadis, karya Majd al-Din Ibn Asir. Ilm Ilal al-Hadis, yang menerangkan tentang sebab-sebab yang tersembunyi (tidak nyata) yang dapat mencacatkan Hadis. Kitab yang membahas masalah ini adalah ‘Ilal al_Hadis karya Ibn Abi Hatim. Ilm Nasikh wa al-Mansukh, yang menerangkan Hadis-hadis yang sudah dihapus, dalam arti (hadis-hadis) yang tidak relevan untuk diamalkan saat ini, tetapi ditemukan Hadis lain sebagai alternative pengganti.

Kitab yang membahas masalah ini adalah al-I’tibar karya Muhammad Ibn Musa alHazimiy. 6. Ilm Asbab al Wurud al Hadis, yang menerangkan tentang latar belakang disabdakan Hadis-hadis oleh Nabi saw. kitab yang membahas masalah ini adalah al-Bayan wa al-Ta’rif karya Ibn Hamzah al-Husayni. Ilmu Talfiq al-Hadis atau disebut juga Ilm Mukhtalaf al-Hadis, yang menerangkan tentang cara mengumpulkan antara Hadis-hadis yang berlawanan pada zahirnya.

Kitab yang membahas masalah ini adalah Berdasar dari klasifikasi Ulum Hadis diatas, maka secara ontologism ia merupakan sebuah cabang ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri pada pembahasan secara mendalam dan sistematis terhadap Hadis-hadis, serta pembuktiannya terhadap kevalidan Hadis-hadis itu sendiri.

Secara historis dan filosofis, eksistensi Hadis tidak dapat dipisahkan dari Alqur’an. Mata rantai antara keduanya ibarat jasmani dan ruhani, dan pemisahan antara keduanya menimbulkan malapetaka yuridis, sosiologis dan cultural.

Hanya saja, ditemukan kelompok tertentu dalam umat Islam sendiri yang enggan menjadikan Hadis sebagai pedoman dan undang-undang dalam kehidupannya. Mereka adalah Ingkar al Sunnah atau Mungkir al Sunnah.

Kelompok ini, muncul pada masa Abbasiyah (750-1258 H). tetapi, sampai saat sekarang ini, baik secara terselubung maupun secara terang-terangan, mereka yang berpaham Ingkar Sunnah, baik yang mereka ingkari itu seluruh Sunnah maupun sebagiannya saja, tetap muncul di berbagai tempat.

Kalau begitu, masa depan Alqur’an dipastikan tetap langgeng, karena tidak ditemukan kritik terhadapnya, namun masa depan Hadis (kemungkinan) tidak selanggeng dengan Alqur’an. Sementara itu, dari pihak non Muslim, misalnya Joseph Schacht yang memang pakar di bidang Hadis, menyatakan bahwa ―tidak satupun Hadis yang otentik dari Nabi khususnya Hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum Islam.

Pernyataan Schacht tersebut berdasarkan hasil penelitiannya dalam bukunya yang berjudul The Origin of Muhammadan Jurisprudence. Di samping Schacht Ignaz Goldziher pun menyatakan yang sama, namun ia tidak sampai pada kesimpulan meragukan otentitas Hadis itu sendiri.

Pernyataan-pernyataaan serupa masih banyak lagi yang ditelorkan oleh kalangan orientalis. Adanya kasus-kasus seperti di atas, baik yang bersumber dari kelompok muslim sendiri maupun non muslim, tentu saja mempunyai pengaruh negative yang sangat besar terhadap otensititas masa depan Hadis dan Ulum Hadis, yang tentu saja pengaruh yang dimaksud akan merusak atau meretakkan persatuan dan keutuhan umat.

Pada gilirannya pula, persaudaraan antara sesame Muslim (Ukhuwah Islamiyah), menjadi hancur dan rusak berantakan. Di samping itu, akan membingungkan umat dan mempersulit dalam memahami ajaran Islam, serta akan menjauhkan umat dari pengamalan agama.

Pengaruh-pengaruh negative dan dampak-dampak yang akan ditimbulkan akibat tidak menjadikan Hadis sebagai pedoman, tetap saja dapat dikikis dan dibabat habis manakala kajian-kajian Hadis dan Ulum al Hadis dikembangkan secara intensif.

Bahkan, usaha yang paling penting dilakukan adalah menyanggah pendapat-pendapat mereka, baik secara naqli-yah maupun aqli-yah atau sesuai alur pemikiran yang secara sosio cultural dapat diterima oleh setiap orang.

Sedangkan secara aqli-yah, dalam sejarah umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-1250 M), dimana pada masa itu banyak ulama yang tampil pionir yang menguasai berbagai bidang ilmu, baik di bidang tafsir, hadis, fikih, ilmu kalam, filsafat tasawuf, sejarah maupun bidang pengetahuan lainnya.

Fakta sejarah ini membuktikan periwayatan dan perkembangan Hadis berjalan seiring dengan perkembangan haruslah dengan tetap memfungsikan hadis secara proporsional dalam kerangka ajaran Islam di samping Alqur’an.

Fakta lain membuktikan bahwa banyak kalangan orientalis yang mengagumi Hadis, bahkan membelanya. Misalnya saja, Jerbert de Oraliac yang kemudian terpilih menjadi Paus Sylvestre II (999-1003 M) mendirikan dua sekolah Arab, masing-masing di Roma, tempat ia bermarkas sebagai paus dan di tempat kelahirannya di Prancis, dan di kedua sekolah ini dipelajari Hadis-hadis.

Bahkan Robert of Chester (1141-1148 M) dan kawannya Hermann Alemanus (w. 1172 M), sepulang dari Andalus mereka menerjemahkan Alqur’an, atas saran dari Paus Sylvestre II tadi Penerjemahan Alqur’an ke dalam bahasa latin yang dibantu dua orang Arab ini selesai pada tahun 1143 M.

Dari sini, merupakan terjemah Alqur’an yang pertama kali dalam sejarah. Belakangan, muncul pula Arnold John Wensinck (w.1939 M), seorang professor bahasa-bahasa Semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden Belanda, yang secara khusus membela keakuratan Hadis.

Bahkan, ia telah mempersembahkan karya monumental dalam bidang Ilmu Hadis, berupa Mu’jam al Mufahras yang judul Aslinya adalah Concordance et Indeces De Ela Tradition Musulmanne, kemudian karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Syekh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi.

Kenyataan-kenyataan diatas, menjadikan peluang terciptanya kecemerlangan Hadis di masa depan untuk tetap dijadikan sebagai salah satu sumber ajaran Islam, sekaligus dijadikan sebagai undang-undang dan pedoman hidup yang akurat. Kaitannya dengan itu, maka dalam rangka perwujudannya, haruslah pengamalan Hadis-hadis di masyarakat serta mengambangkan wilayah kajian Ulum al Hadis itu sendiri. []

Editor : Murhaban

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Masa Depan Ulumul Hadist dalam Perspektif Sejarah

Trending Now

Iklan