Iklan

Kembang Kempis Ekonomi Politik Lhokseumawe - Aceh Utara

relasinasional
22 April 2022 | 14:47 WIB Last Updated 2022-04-22T07:47:08Z

Kembang Kempis Ekonomi Politik Lhokseumawe - Aceh UtaraPenulis : Tarmizi Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh


Relasi Nasional | Opini - “Mereka yang memiliki absolute advantage akan memiliki kekayaan yang berlimpah”

Adam smith dalam The Wealth of Nations

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Lhokseumawe-Aceh utara memiliki sumber daya yang cukup besar dan memiliki sumbangsih besar pula terhadap PDB Indonesia serta menjadi provinsi penyumbang kesejahteraan bagi provinsi lainnya di era Orde baru Soeharto.


Dengan kekuasaan semi absolute Soeharto melakukan sentralisasi kekuasaan di Jakarta dengan menghimpun seluruh kapabilitas ekonomi setiap provinsi dan melakukan sentralisasi pembangunan infrastruktur yang terpusat di Jawa pula. Maka hal ini pun menjadi pemicu setiap titik pergolakan dan tindakan subversif terhadap negara seperti GAM, OPM, RMS dan beberapa gerakan separatis lainnya.
Seolah terjadi paradoks yang cukup kompleksitas, penulis akan menguraikan dengan bahasa yang sederhana.

Andai Soeharto berpihak secara ekonomi kepada masyarakat, tidak pro asing dalam memberi HGU dan mengaplikasikan dengan baik efek tetesan kebawah atau lebih dekat dengan istilah “trickle down effect” maka Soeharto tidak akan mengeluarkan banyak biaya militer untuk melakukan pembantaian kemanusiaan di setiap titik wilayah di Indonesia karena pada dasarnya setiap civil disobedience muncul dari ketidakadilan atau injustice.
Kesimpulan sederhananya, korupsi dan keberpihakan Soeharto kepada asing sama besar budget yang dihabiskan dengan pembiayaan militer beberapa dekade untuk meleraikan konflik di setiap titik di Indonesia.


Aceh utara-Lhokseumawe memiliki absolute advantege atau komoditas absolute yang berkomoditaskan migas berpotensi meningkatkan index taraf hidup masyarakat Aceh utara yang multi dimensi seperti kesehatan, pendidikan dan jaminan sosial serta pemenuhan hak hidup lainnya.
Namun yang sangat di sayangkan, ungkapan masyarakat sebagai stakeholder telah bergeser terlalu jauh sehingga menempatkan posisi masyarakat sebagai penonton saja. Yang penulis yakin bahwa masyarakat pun tidak mengetahui sama sekali hasil lifting minyak per hari yang dilakukan oleh PT. Arun maupun Exxon mobile.

Jangankan melipat gandakan hasil migas bahkan ke tahap penyulingan/refinery industri pun kita tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Sehingga Aceh terkesan menjadi provinsi penghasil bahan baku terbesar Eropa/Amerika dan menjadi sapi perahnya namun tidak melaksanakan trickle down effect dengan baik.
Adanya ilusi fixed cost atau UMR untuk upah buruh mengakibatkan terhambatnya masyakat sekelas buruh melakukan mobilitas vertikal untuk sedikit lebih maju dan tidak hanya memenuhi pangan, sandang dan papan saja.
Fixed cost atau UMR tidak berlaku untuk para manajer, CEO dan pemegang saham sehingga saat perusahaan sekelas Exxon mobile ketimban durian runtuh ratusan kali lipat mereka para pemegang saham yang akan semakin bergelimang hartanya akan tetapi masyarakat miskin dan buruh yang bahkan untuk memenuhi kebutuhan pangan tetap pada standar kemiskinannya oleh karena delusi UMR atau fixed cost yang tidak mengalami peningkatan sama sekali.

Dari mekanisme inilah yang selalu menyebabkan terjadinya pemberontakan di internal korporasi atau subversi kelompok tertentu oleh penindasan kapitalisme terhadap masyarakat, standar hidup masyarakat hanya berkutat pada poros yang sama, ketiadaan supremasi Hukum yang tinggi mengakibatkan ekploitasi sebesar ini dan tiadanya semangat untuk mengawasi setiap kegiatan perusahaan baik dari akuntabilitas harga, lifting minyak per hari, penarikan tarif pajak terhadap korporasi dan sejauh mana proses pembangunan taraf hidup terhadap masyarakat setempat yang dilakukan oleh korporasi.


Absennya organisasi kerakyatan Aceh utara maupun buruh yang turut mengawasi aktivitas di industri padat modal tersebut membuat mereka bisa semena-mena tanpa memperhatikan moralitas berupa CSR perusahaan terhadap masyarakat.
Migas dan hasil alam lainnya adalah amanat kontitusi terhadap keberlangsungan hidup orang banyak, maka jika diselewengkan demi kepentingan sekelompok pemilik modal maka ini adalah upaya pengkhianatan terhadap masyarakat.

Lemahnya supremasi hukum dan tiadanya keberpihakan terhadap masyarakat Aceh utara-Lhokseumawe mengakibatkan taraf pembangunan kemanusiaan terhambat yang multi dimensi.
Jika kita berdalih bahwa Aceh utara dewasa kini telah maju akibat industri padat modal tersebut maka itu hanyalah delusi, karena adanya pergerakan dan perputaran ekonomi di Lhokseumawe dan Aceh utara adalah karena adanya Universitas-universitas yang memiliki komposisi mahasiswa yang besar, yang menuntut agar adanya peningkatan industri properti, perumahan dan usaha retail sehingga efek tetes kebawah dari Universitas terjadi dengan niscaya.

Mahasiswa adalah penggerak roda ekonomi retail masyarakat sekarang di Aceh utara dan Lhokseumawe, namun jika masyarakat Aceh utara-Lhokseumawe mendapat pembagian provit perusahaan dengan nominal 40% saja maka hal ini dapat mengalahkan usaha retail selama ini.


Baik perusahaan padat modal maupun DOKA tidak benar-benar serius dalam mengakomodir kesejahteraan masyarakat, itu semua hanya ilusi kapitalisme. Sekarang, ekonomi retail menjadi kembang kempis dan urat nadi terakhir dari masyarakat Aceh utara-Lhokseumawe karena absennya core industri dalam mengakomodasi kebutuhan dasar masyarakat dan tiada institusi formal maupun informal yang membela masyarakat kecil.

Untuk menutup opini saya hari ini, saya akan sedikit membela Adam smith.
Kitab ekonomi klasik yang Liberal yang berjudul lengkap “An inquiry into the nature and causes of the wealth of nation”

Pada kalimat terakhir, Adam smith menamakan bukunya “The Wealth of nations” yaitu kesejahteraan bangsa bukan “The Wealth of individual” atau kekayaan individu. Tujuan dari ilmu ekonomi adalah kesejahteraan masyarakat bukan individu atau sekelompok pemilik modal. Neoliberalisme modern ala Exxon mobile dan PT. Arun adalah bentuk distorsi terhadap konsep Adam smith yang mengelukan pasar dan pemusatan kekayaan berlebihan yang dampaknya akan terjadi ketimpangan kekayaan, kemiskinan yang progresif dan di akhiri oleh perang sesama yanh merenggut nyawa. Inilah siklus dampak ketamakan dari manusia.


Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kembang Kempis Ekonomi Politik Lhokseumawe - Aceh Utara

Trending Now

Iklan